Selasa, 18 Juni 2013

Hukum Perjanjian

Hukum Perjanjian bila ditinjau dari Hukum Privat

A. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat
jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu
perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan
dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak
tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum
yang muncul karena kehendaknya sendiri.

B. Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang
tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut
ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai
kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap
perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut,
dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah
bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku
yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang
membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun
berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan
tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya.
Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal
demi hukum (Pasal 1446 BW).
Hukum Perjanjian Lista Kuspriatni
Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 2
3. suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan
berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan
keempat
mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau
tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan
perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek tidak
terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana
Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
- TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan
supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut.
Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
- TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena
perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
- Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
- Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk
kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier
untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga
sesungguhnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar